Wednesday, October 8, 2025

 Dear everyone....

Tadi aku olahraga di taman dekat lapangan golf. Matahari bersinar cukup cerah. aku suka taman itu karena tidak terlalu ramai dengan orang. Aku bisa leluasa merenung dan meditasi singkat. Aku senang sekali mengamati tumbuhan yang ada disana. Rerumputan liar, bunga liar dan pohon-pohon. Menurut orang lain taman itu tidak terurus. Rumput-rumput liar dibiarkan hidup semaunya. Tapi menurutku taman itu dirawat dengan baik oleh alam. Bayangkan saja tidak orang yang menyirami semua tumbuhan itu tetapi entah kenapa mereka seperti tidak kekurangan apapun. Para tumbuhan dan bahkan hewan-hewan kecil hidup dan mati dengan normal. Mereka terawat sampai akhir hayatnya. Aku semakin bersyukur dan takjub pada Tuhan. Bila tumbuhan dan hewan yang tidak memiliki agama saja dirawat dengan baik apalagi aku, seorang manusia.

Aku percaya bahwa Tuhan ada didalamku. Ia ada dalam setiap helai rambut, bulir keringat dan sel-sel didalam tubuhku. Namun sebagai seorang manusia dengan berbagai macam emosi, aku seringkali merasa takut. Takut tersakiti, takut dikritik, takut diejek, takut merasa sedih, takut sendiri. Bila aku curhat dengan orang lain, mereka akan menasihati ku untuk segera cari pasangan dan menikah. Tapi apakah dengan menikah aku tidak akan merasakan takut lagi? Aku memiliki kekasih tetapi aku merasa tidak bisa membuka semua bebanku dengannya apalagi mengenai hubungan kami yang tidak direstui atau mengenai komitmennya untuk menikahiku. Dulu aku pernah bertanya padanya kapan dia siap menikahiku. Dia menyuruhku bersabar karena ingin mengumpulkan uang dulu dan menjadi PNS. Itu bukan waktu yang sebentar sementara umur terus bertambah tua. Aku seringkali merasakan keraguan darinya. Mungkinkah dia takut berkonflik dengan orang tua ku karena itu dia sengaja mengulur-ulur waktu? Hubungan kami sudah hampir 8 bulan. Rasa kasmaran menggebu-gebu yang ku rasakan di awal sudah luntur. Di saat inilah realita terpampang jelas dan keraguan mulai datang. Do I want him or just too scared to be alone? Orang-orang di sekitarku mulai berbisik, mentertawakan statusku yang masih single di usia 31 ini. 

Ketidakbahagiaan, keputusasaan dan kekhawatiran yang kurasakan ini karena aku masih belum bisa berdamai dengan hal-hal yang belum aku capai. image diriku juga masih melekat kuat pada pendapat dan pandangan orang lain. Saat aku sedih dengan perjalanan percintaan ku, aku ingat ingat lagi tujuan hidupku yaitu kedamaian hati dan kebebasan batin. Selama aku masih takut maka aku tidak akan terbebas dari penderitaan. Hari ini aku akan meditasi dan berdoa untuk ketenangan batinku. Semoga semua mahluk hidup merasakan damai dan terbebas dari penderitaan. Amin. Nammo buddhaya.

Ini foto-foto yang kuambil saat olahraga tadi sebagai pengingat bahwa Tuhan merawat semua mahluk. 












Friday, October 3, 2025

 Pagi ini kuawali dengan segelas air putih dan dua pancake oat. Aku sedang tidak baik-baik saja akhir-akhir ini. Urat leher ku sering tegang, hatiku terbebani. Hidup ku secara umum tergolong mudah. Di hari ulang tahun ku ini aku telah menginjak usia 31 tahun. Aku bukan orang kaya tapi aku masih mampu membeli motor dan mencicil rumah dengan uang sendiri. Aku masih belum menempati rumah itu karena masih dalam tahap renovasi (Oh sungguh aku tidak sabar!!). Sekarang aku masih numpang di rumah orang tua ku. Karir ku aman. keuangan ku aman. Namun aku tak pernah beruntung dalam hal percintaan. 

Saat wanita-wanita lain didekati oleh banyak teman kuliah atau rekan kerja dan berakhir di pelaminan, seumur hidup ku hanya dua orang saja yang mendekati ku duluan, dan itupun kandas karena ternyata kami tidak cocok. Selain mereka berdua, aku selalu jadi yang mengejar lelaki. Aku yang menghubungi duluan, mengajak bertemu, berusaha menggoda, berusaha mencari topik yang menarik. Tapi ujung-ujungnya kandas juga karena ketidak cocokan. Bayangkan betapa lelahnya aku!! Tak jarang aku merasa para lelaki meremehkan ku. Mungkin dimata mereka aku hanyalah wanita usia 30 an yang putus asa.

Aku baru merasa cocok dan nyaman dengan lelaki yang kutemui beberapa bulan yang lalu. Putera, ia seorang ASN yang bekerja di BKAD. Dia bisa memberikan rasa nyaman yang banyak laki-laki tak bisa berikan padaku. Orangnya baik, sopan, tidak mabuk atau merokok, pengertian, tidak egois, dan mau menerima spiritualisme ku. Dia mau mengobrol denganku dan berusaha  Oang tua ku sangat menentang hubungan kami karena Putera adalah seorang Muslim, sedangkan aku berasal dari keluarga Kristen. Ayahku berkata bahwa ia hanya akan merestui bila Putera masuk Kristen. Putera berkata ia tidak akan bisa pindah agama tapi ia tidak masalah dengan rumah tangga yang berbeda agama. Dari awal pacaran kami sudah menyepakati menikah beda agama dan dia juga berkata dia tidak akan memaksa. Tapi kadang ia goyah juga. Saat sedang pacaran, dia pernah menggumam "Bagaimana bila kamu ikut (agama) aku saja?" lalu seperti tersadar dia menjawab sendiri "ah pasti akan ditentang oleh orang tua mu ya"

Hubungan kami sudah berjalan kurang lebih 8 bulan. 4 bulan pertama kami lalui dengan penuh cinta. Aku bahkan bertekad untuk pindah agama secara administrasi saja untuk bisa menikahinya asalkan dia menjamin kebebasan ku dalam berkeyakinan saat berumah tangga kelak. Sekarang aku mulai ragu. Rasa cinta menggebu-gebu yang kurasakan di awal sudah tidak ada lagi. Aku seperti tersadar bahwa konflik di masa depan terlampau berat untuk ku. Aku memang bukan Kristen yang taat, bahkan tidak setuju dengan apa yang tertulis di Alkitab. Aku tidak suka bernyanyi atau beribadah di gereja. Aku tetap kristen hanya demi menjaga perasaan orang tua ku yang merupakan penganut Kristen taat.

 Aku tidak mau bohong aku juga sebenarnya ingin beribadah sesuai keyakinan ku sendiri tapi aku enggan berkonflik dengan orang tua ku. Aku merasa takut. takut sekali dan tidak mau. Aku takut dengan orang tua ku. Aku takut pada image anak durhaka. Rasa takut ini menyiksa ku setiap hari. Rasa takut ini juga mempermalukan ku. Aku malu karena aku seperti orang yang tidak sanggup berjuang untuk prinsip hidupnya sendiri. Aku benci diriku yang ragu dalam memperjuangkan kebahagiaan ku. 

Sampai kapan aku harus merasa takut akan penilaian orang lain pada diriku? Bukankah orang yang selalu takut dihakimi adalah orang yang tidak akan mencapai kebebasan batin?

Di ruangan yang sepi ini, aku mecoba menenangkan pikiranku yang berkecamuk. Tarik napas... hembuskan....tarik napas......hembuskan.... Aku mulai merasakan dada ku sesak, perut ku sakit. Stress ku kambuh lagi. Aku mungkin akan istirahat sejenak.